Pages

Senin, 26 Agustus 2013

Burung Kertas & Harapan Kecil (Fanfict JKT48) 2nd Part

Burung Kertas & Harapan Kecil




“Beby, tolong panggilin Shania ya. Dia belum sarapan”, ucap Ve ke Beby.
“Iya kak”, jawab Beby. Ve kembali membaca majalah yang ada di depannya. Saat  Ve baru mulai membaca. Beby berteriak “Kak Ve!!”
“Kenapa Beb?!”, Tanya Ve sambil menuju ke kamar Shania
“Sha-shania kak”
“Shania kena-”, ucapan Ve terpotong saat ku melihat Shania pingsan dengan darah yang keluar dari hidungnya.
“Bibi! Pak Udin! Kesini tolongin Ve!”, teriak Ve.
“ada apa non?”, Tanya Pak Udin.
“Tolong angkat Shania ke mobil”, jawab Ve sambil memberikan kunci mobil ke Pak Udin
“Ya tuhan, non Shania kenapa?”, Tanya Bibi dengan ekspresi yang panic.
“Ve juga gatau bi tadi Beby yang nemuin Shania udah kayak gini”, jawab Ve.
“Beby siap – siap ke rumah sakit ya. cepetan”, perintah Ve ke Beby. Ve langsung menuju kamar dan mengganti celana pendek dengan celana jeans dan mengambil jaketnya. Beby sudah menunggu Ve di depan rumah. Ve dan Beby langsung masuk ke dalam mobil. Lalu, Ve mengeluarkan mobil dari halaman rumah dan melajukan mobil ke rumah sakit.

***

Shania membuka matanya perlahan – lahan. Dia sudah berada di ruangan berwana putih dengan bau obat – obatan yang menyengat. ‘Rumah Sakit’, pikirnya. Beby duduk di sebelahnya.
“Lama banget lo tidurnya”, ucap Beby
“Emang berapa lama?”, Tanya Shania
3 hari”, jawab Beby. ‘lama banget’, pikir Shania
“Gue sakit apa?”, Tanya Shania. Beby terdiam sebentar.
“Lo Tanya ke kak Ve aja nanti. Orangnya lagi di toilet”, jawab Beby.
“Oh iya, Tadi Ayana sama Gaby dateng tapi lo belum bangun”, lanjut Beby. Shania hanya ber’o’ ria. Tak lama kemudian Ve keluar dari toilet.
“Eh, Shania udah bangun. Ada yang sakit gak”, Tanya Ve
Shania menggeleng lalu berkata, “Aku sakit apa kak?”
Raut muka Ve berubah. Lalu ia mengambil amplop yang ada di meja lalu memberikannya ke Shania. “Kamu baca ya”. Shania membukanya dan membacanya. Disitu tertulis bahwa dirinya positif menderita Leukemia akut.
“kak ini bohong kan?”, Tanya Shania. Ia tidak percaya tentang apa yang ia baca.
“Kakak juga berharap kalo itu bohong. Tapi, itu beneran Shan”, jawab Ve. Shania mulai berpikir bagaimana jika ia akan menyusul bundanya ke surga.
“Jangan sedih ya Shan”, ucap Ve sambil mengelus rambut Shania. ‘Gimana gak sedih kalo aku menderita penyakit kayak gini’, batin Shania.
“Kakak keluar bentar ya. Mau beli makanan”, ucap Ve lalu meninggalkan ruangan Shania.

***

Setelah Ve keluar, Shania memakan (lebih tepat mengaduk – aduk) makanan yang sudah disiapkan.
“Shan makanannya dimakan jangan diaduk – aduk doang dong”, kata Beby.
“Gak nafsu kak”, ucap Shania. Beby yang sedikit kesal dengan kelakuan Shania mengambil alih sendok dari tangan Shania dan menyuapi Shania. “Buka mulutnya”, ucap Beby. Shania membuka mulutnya dan Beby memasukkan makanannya ke mulut Shania. Tapi, baru 5 suap Shania enggan membuka mulutnya lagi. “Shan, lo baru makan 5 suap. Ntar lo tambah sakit lagi”, ucap Beby. Tapi, Shania tetap tidak mau membuka mulutnya. Saat Beby sedang memaksa Shania untuk melanjutkan makannya Ve kembali ke kamar Shania

“Kenapa sih, kok ribut?”, Tanya Ve.
“Shania cuma makan 5 suap kak”, jawab Beby.
Ve mendekati Shania lalu bertanya, “Kamu kenapa gak mau makan?”
“Perut aku agak sakit . Jadi gak nafsu makan”, jawab Shania.
“Yaudah, kamu istirahat ya”, ucap Ve. Shania mengangguk lalu memejamkan matanya dan tertidur.

Keesokan Harinya…

Shania terbangun dari tidurnya. Di sebelahnya ada Ve yang sedang memangku sebuah laptop.
“Eh udah bangun. Kamu mau makan gak?”, Tanya Ve. Shania hanya mengangguk. Ve mengambil semangkuk bubur dan memberikannya ke Shania.
“Kamu makan sendiri ya. kakak masih mau ngelanjutin tugas”, ucap Ve
“Kakak gak kuliah?”, tanya Shania
“Hari ini kakak jamnya sore”, jawab ve
“Udah, kamu makan aja makanannya”, lanjut Ve. Shania pun melahap makanannya sampai habis.

Setelah Shania selesai makan Ve bertanya kepada Shania, “Shan, kamu mau kemo gak?”.
“Kemo? Tapi kan itu sakit kak”, jawab Shania.
“Tapi itu bisa nyembuhin kamu Shan”, balas Ve.
Shania berpikir sejenak lalu menjawab, “Yaudah, aku mau deh”


***

“Beby!”, panggil Rian ke Beby.
“Apa sih yan teriak – teriak mulu lo”, ucap Beby.
“Ada anak kelas X nyariin lo tuh di depan kelas”, kata Rian. Beby langsung menuju ke depan kelas. Sudah ada Gaby dan Ayana yang menunggunya.
“Kak, Shania udah sadar belum?”, Tanya Ayana.
‘”Udah kok. Kalian mau jenguk lagi?”, jawab dan tanya Beby. Gaby dan Ayana mengangguk bersamaan.
“Yaudah nanti pas pulang aku tunggu kalian di halte depan sekolah”, ucap Beby.
“Oke kak”, balas Ayana dan Gaby lalu meninggalkan kelas Beby.

***

Pintu ruangan Shania terbuka. Beby, Ayana, dan Gaby masuk.
“Hai Shan”, sapa Gaby.
“Hai Gab”, balas Shania.
“Shan, lo sakit apa?”, tanya Ayana.
“Kanker”, jawab Shania singkat. Ayana dan Gaby membesarkan matanya menandakan bahwa mereka berdua kaget.
“Shan jangan bercanda dong”, ucap Gaby yang tidak percaya dengan apa yang dikatakan Shania.
“Tau Shan. Jangan bercanda napa”, sambung Ayana. Ve dan Beby yang daritadi memperhatikan percakapan mereka bertiga memutuskan untuk keluar.
“Emang muka gue keliatan lagi bercanda”, jawab Shania sedikit jutek. Ayana dan Gaby menggelengkan kepalanya.
“Kanker apa Shan?”, tanya Gaby.
“Leukimia akut”, jawab Shania.
“Lo kapan keluar dari rumah sakit?”, tanya Ayana.
“Kata dokter besok udah boleh pulang tapi masih harus istirahat di rumah”, jawab Shania.
“Keadaan di sekolah gimana?”, tanya Shania.
“Ya, kayak biasanya Shan. Paling si Daffa aja yang galau gara – gara gak ada lo”, jawab Gaby sedikit bercanda. Mereka pun bercanda ria sampai sore.

***


Rabu, 4 Agustus. Hari ini hari pertama Shania menjalankan kemoterapi. Shania sudah menunggu di depan ruang kemo bersama Ve. Tak lama kemudian seorang suster memanggilnya dan Shania masuk ke ruangan kemo.

Skip -->

Perut Shania masih terasa sedikit mual padahal sudah hampir 1 jam dari berakhirnya kemo tadi. Dia  juga sudah memuntahkan isi perutnya tadi.
“Shan, masih mual?”, tanya Ve yang berdiri di ambang pintu kamar Shania.
“Udah gak terlalu kok kak”, jawab Shania sambil berusaha tersenyum agar tidak membuat Ve khawatir.
“Kamu istirahat ya”, ucap Ve. Shania hanya mengangguk. Lalu, Ve keluar dari kamar Shania. Shania melihat ke timbangan berat badan yang ada di pojok kamarnya. Ditimbangnya berat badannya. Berat badannya berkurang 3kg. Padahal sebelum kemo ia sudah kehilangan beberapa kilogram berat badannya. Tak bisa ia bayangkan berat badannya beberapa bulan ke depan. Saat perempuan lain mati – matian menahan lapar untuk mengurangi berat badannya dengan mudahnya Shania melepas beberapa kilogram massa badannya.

***

Sudah 6 bulan Shania melakukan pengobatan untuk penyakitnya. Tapi, selama ini belum ada kemajuan.

Shania sedang berdiri di koridor depan kelasnya sambil melihat ke arah lapangan. Teman – temannya sedang melakukan pelajaran olahraga. Ia hanya bisa memperhatikan apa yang mereka lakukan. Semenjak ia di vonis leukemia ia tidak boleh melakukan pekerjaan berat termasuk olahraga.

Bel istirahat berbunyi sekaligus menandakan berakhirnya pelajaran olahraga sekaligus masuknya jam istirahat. Shania masuk ke kelas untuk menunggu Gaby dan Ayana.
“Uhukk”, Shania terbatuk. Tangannya menutupi mulutnya yang masih terbatuk . Ia membuka tangannya. Ada sedikit cairan merah disitu. ‘darah?’, ia sedikit bingung. Ia mulai merasakan sakit di kepalanya lagi. Ia duduk di kursinya dan menundukan kepalanya untuk menahan sakitnya. Darah segar mulai keluar dari hidungnya. Matanya mulai berkunang – kunang dan akhirnya semuanya menjadi gelap.

***

“Beby!”. Teriakan Rian membuyarkan konsentrasi Beby yang sedang menulis.
“Kenapa yan?”, balas Beby.
“Shania beb! Dia pingsan lagi. Sekarang udah di UKS”, jawab Rian yang masih ngos – ngosan karena baru saja berlari.
“Izinin gue sampai Shania bangun”, ucap Beby lalu langsung berlari menuju UKS. Sedangkan Rian hanya melihat Beby yang sedang berlari.

***

Beby memasuki ruang UKS. Entah sudah berapa puluh kali ia memasuki ruangan ini untuk menemani Shania yang pingsan. Bu Rini (perawat UKS) sedang menangani Shania.
“Gimana bu?”, tanya Beby saat Bu Rini selesai menangani Shania.
“Mimisannya udah berhenti tinggal tunggu dia sadar aja”, jawab Bu Rini.
“Makasih ya bu”, ucap Beby ke Bu Rini. Bu Rini hanya mengangguk lalu pergi keluar.

“Shan, gak bosen apa pingsan mulu?”, ucap Beby ke Shania yang masih belum sadar. “Kapan sih kamu sembuh?”, lanjutnya.


***

Bel pulang sudah berbunyi. Tapi, Shania masih belum sadar. Beby tambah khawatir dengan keadaan Shania. Ia mengeluarkan ponselnya lalu menghubungi Rian. Setelah Rian mengangkat teleponnya Beby langsung bicara.
“Yan, lo belum pulang kan?”
“Belum kok Beb. Gue masih di kelas. Kenapa?”
“Tolong bawain tas gue sama Shania ke UKS ya. Tasnya Shania lo ambil aja di kelas X-2. Thanks ya”
“Oke Beb”
Beby mematikan sambungan teleponnya Beby mengembalikan ponselnya ke dalam kantung kemejanya. Sekitar 10 menit Rian datang membawa 3 buah tas (tasnya sendiri, tas Beby dan tas Shania).
“Nih Beb”, ucap Rian sambil memberikan tas Beby dan Shania ke Beby.
“Thanks yan”, balas Beby.
“Belum sadar Beb?”, tanya Rian. Beby hanya menggeleng. “Bawa ke rumah sakit aja yuk. Kebetulan hari ini gue lagi bawa mobil”, sambung Rian.
“Nggak ngerepotin yan?”, tanya Beby.
“Nggak kok. Daripada Shania kenapa – napa”, jawab Rian dan langsung menggendong Shania dan membawanya ke mobilnya.

***

Beby dan Rian sedang duduk di depan UGD sambil berharap Shania akan baik – baik saja.
“Beb, lo udah ngabarin kak Ve?”, tanya Rian
“Tadi gue udah ngirim SMS kok”, jawab Beby. “Yan, lo pulang aja deh. Nanti mama lo nyariin lagi”, lanjutnya.
“Lo gapapa sendirian?”, tanya Rian.
“Gapapa kok”, jawab Beby. Lalu, Rian menggendong tasnya dan keluar dari rumah sakit. Sekitar 30 menit kemudian dokter keluar dari ruang UGD.
“Keadaan Shania gimana dok?”, tanya Beby.
“Sekarang dia koma dan  penyakitnya tambah parah. Sekarang dia koma. Dia udah dipindahkan ke ruang rawat inap. Ruangan 480 ya”, jawab dokter. Beby hanya terdiam. Ia tidak menyangka bahwa penyakit yang diderita adiknya tambah parah. Ia menuju ke ruangan yang tadi diberitahu dokter. Ia masuk ke ruangan tersebut. Shania terbaring di ranjang dengan masker oksigen yang menutupi hidung dan mulutnya. Beby duduk di sebelahnya.
“Pinter banget sih dek”, ucap Beby. “Pinter banget bikin kakak khawatir”, lanjutnya.
“Kenapa sih gak kakak aja yang ada di posisi kamu”. Suara Beby mulai bergetar. "Kamu masih terlalu kecil buat nanggung sema ini" Setelah itu tak ada lagi suara dari mulut Beby. Hanya suara dari elektrokardiogram yang terdengar di kamar itu.

***

Ve berjalan menuju ruangan Shania dengan perasaan yang khawatir. Ia berharap tidak terjadi apa – apa dengan Shania. Ia memasuki ruangan tersebut. Ia melihat Beby yang sedang tiduran di sofa sambil memainkan ponselnya.
“Beby”, panggil Ve ke Beby.
Beby menoleh dan bertanya, “kenapa kak?”
“Shania Gimana?”, Ve balik bertanya.
Beby terdiam sejenak dan memandang ke arah Shania lalu menjawab pertanyaan Ve, “Tadi dokter bilang penyakitnya Shania tambah parah kak dan sekarang dia koma”.
Ve mendesah pelan. “Kamu makan dulu ya. Belum makan kan?”, ucap Ve sambil memberikan kantong plastik berisi makanan ke Beby. Beby mengambil makanannya dari tangan Ve dan memakannya sampai habis

***

Beby duduk di salah satu kursi di taman belakang sekolahnya. Merenungkan keadaan Shania saat ini.
“Kenapa sih gak gue aja yang ada di posisi dia!”, teriak Beby mencoba melepaskan bebannya.
“Beby, lo ngapain teriak – teriak?”, tanya seorang perempuan yang muncul entah darimana.
“Frieska?!”, ucap Beby yang sedikit kaget dengan kehadiran Frieska yang tiba – tiba.
“Gue ngagetin ya? maaf deh. Lo ngapain teriak – teriak?”, tanya Frieska. Frieska adalah teman sebangku Beby. Beby tidak menjawab pertanyaan Frieska. Ia hanya terdiam sambil menatap ke langit.
“Shania lagi?”, tanya Frieska lagi. Beby hanya mengangguk.
“Kata dokter penyakit dia tambah parah dan sekarang dia komq”, ucap Beby. Frieska hanya diam mendengarkan cerita Beby.
“gue pikir dengan dia kemo dia bakal sembuh. Tapi, dia malah tambah parah”, lanjut Beby.
“kadang gue mikir kenapa sih harus dia yang ada diposisi itu. Kenapa gak gue aja yang ada di posisi dia”.
Frieska mulai membuka mulutnya, “Lo jangan ngomong kayak gitu. Gue tau kok tuhan punya rencana dibalik semua itu”
“Rencana apaan fries? Rencana kalo akhirnya dia bakal nyusul bunda gue!”, ucap Beby setengah berteriak.
“Tuhan ngasih penyakit ke Shania karena tuhan tau kalo Shania itu anak yang kuat”, balas Frieska.
“Gue tau fries. Tapi lo ngerti kan perasaan gue?”, tanya Beby.
Frieska mengangguk lalu menjawab pertanyaan Beby, “Tapi gaada yang bisa kita lakuin Beb selain berdoa”.
“Makasih ya udah mau denger curhatan gue”, ucap Beby. Frieska hanya membalas ucapan Beby dengan senyuman tipis.

***

1 minggu kemudian…

Beby masih menunggu Shania yang belum juga sadar.
“Kebo banget sih shan. Tidur seminggu gak bangun – bangun”, ucap Beby dengan nada sedikit kesal. “Bangun napa. Aku sendirian terus tau. Kak Ve pergi terus”, lanjutnya. Tiba – tiba Beby merasakan tangan Shania yang ada di genggamannya bergerak dan Shania membuka matanya.
“Shania udah bangun? Gue panggilin dokter ya”, ucap Beby lalu langsung pergi untuk memanggil dokter. Tak lama kemudian dokter masuk dan memeriksa Shania.

Setelah memanggil dokter Beby menelpon Ve untuk mengabari keadaan Shania. Sekitar 20 menit dokter keluar dari ruangan Shania.
“Keadaan Shania sudah membaik. Tapi dia belum boleh pulang. Kira – kira lusa dia udah pulang”, ucap sang dokter sambil tersenyum ke Beby.
“Makasih dok”, jawab Beby dan membalas senyuman si dokter. Beby langsung masuk ke ruangan Shania dan duduk disebelahnya.
“Shan, ada yang sakit?”, tanya Beby dengan sedikit khawatir.
“Nggak kok kak”, jawab Shania pelan. Beby tersenyum tipis. Ia merasa senang karena Shania tidak apa – apa.

Skip aja yah -->

Shania yang sudah pulang dari rumah sakit sedang tiduran di kasur kamarnya. Tangannya memainkan sebuah origami dan membentuknya menjadi burung kertas.
Tiba – tiba pintu kamar Shania terbuka dan Beby muncul dari belakang pintu.
“Lagi ngapain Shan?”, tanya Beby sambil menutup pintu kamar Shania.
“Bikin burung kertas”, jawab Shania dengan tangan yang masih sibuk melipat – lipat kertas origami.
“Buat apaan?”, tanya Beby dengan wajah yang sedikit bingung.
“Buat bikin harapan”, jawab Shania singkat. Beby mengingat – ingat cerita 1000 burung kertas yang pernah ia dengar.
“Kamu percaya sama dongeng itu? Terus kamu bakal bikin 1000 burung kertas gitu?”, tanya Beby lagi.
“Mungkin. Kalo umur aku masih panjang. Tapi di setiap burung kertas yang udah kubuat aku juga bikin harapan. Sebuah harapan kecil”



***

            Ponsel Beby berbunyi dan membuatnya sadar dari lamunannya. Di layar ponselnya tertera nama Frieska. Beby segera mengangkat panggilannya.
“Kenapa Fries?”
“Gue turut berduka ya buat Shania. Maaf gue gabisa dateng”
“Iya, makasih Fries”

Setelah itu Beby memutuskan sambungan teleponnya.

“Kak kalo misalnya aku nyusul bunda, kakak janji ya gak bakalan sedih”
“……”
“Janji ya kak”
“Iya Shan”

Percakapan itu terus berulang di ingatan Beby. Percakapan terakhirnya dengan Shania.

“Maaf kakak gak bisa nepatin janji kakak ke kamu”, bisik Beby.

Beby bangun dari tempat tidurnya. Membuka laci dan mencari – cari selembar kertas origami disana. Setelah menemukannya, ia membentuknya menjadi sebuah burung kertas. Lalu, ia membisikkan sebuah harapan. Sama seperti yang Shania biasa lakukan. Ia kembali duduk di tempatnya tadi. Ditaruhnya burung kertas tadi di kusen jendela.

“Burung kertas ini sama kayak burung kertas kamu Shan. Dia juga nyimpan harapan kecil. Harapan kecil buat kamu”

~Tamat~


Akhirnya selesai juga ^^ terima kasih sudah membaca. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar